Sabtu, 07 Januari 2017

Cerpen "Guru Kecil"

Cerpen

                                                                      Guru Kecil

       Kedatangannya dari jauh memang sudah terlihat, walau agak
samar tapi Aku yakin itu dia. Wajahnya yang semu kemerahan,
dengan rambut ikat kepang ke atas dan ransel merah muda
di pundaknya membuat ia terlihat semakin kecil. Gerakannya
yang jingkrak-jingkrak dan gemerincing bunyi kerincingan di
kaki kecilnya, menandakan kalau ia memang masih hijau, masih
belum tercemar polusi duniawi. Langkahnya tak beraturan,
ringan namun terlihat mantap. Tak ada beban di pikirannya
dan hatinya, dunia seperti surga bermain yang indah.
       Semakin dekat semakin melebarlah tawanya, mulailah
dipamerkannya gigi putihnya itu sambil mengayunkan lengan
kecil beserta jemari-jemarinya yang lentik. Seketika bibirnya
yang mungil menyuarakan kata yang tak asing kudengar,
“Lao Shi... Lao Shi!!!” dari kejauhan suara kecil itu terdengar
semerdu bunyi harpa, bahkan lebih merdu dari biasanya.
      Berjingkrak-jingkraknya semakin menjadi, langkahlangkah
kecil itu mulai cepat, daun-daun di sekeliling mulai
berhamburan. Tap… tap... tap… tak terasa segumpal daging
kecil itu sudah mendarat tepat di dekapanku. “Lao Shi, Good
Moning” sahut si pemilik bibir merah delima. “Bilang, Zao
An!” “Zao An…” tirunya sambil terkekeh-kekeh.

      Entah sampai kapan kekehan ini akan kudengar, sampai si kecil
mulai mengertikah? Aku berharap tidak, Gadis harus menjadi
orang yang tegar, orang yang kokoh, bahkah lebih kokoh dari
gunung. Di umurnya yang masih 3 tahun masih belum banyak
yang ia mengerti. Tapi Gadis mengerti cinta. Hanya karena
cintalah Gadis mampu bertahan dalam kerasnya dunia. Dunia
yang telah merenggut kedua orangtuanya dari kehidupannya.
      Tapi toh Gadis masih bisa tersenyum, masih bisa bermain
dengan kakak pengasuh panti asuhan, masih bisa terkekehkekeh.
“Beberapa hari ini di panti dia agak rewel semenjak dikasih
tontonan Barnie, tapi kalau sudah sampai di sekolah ya
begitu tuh, jingkrak-jingkrakan tak karu-karuan” sahut kakak
pengasuh yang mengantarnya ke sekolah. Aku hanya bisa
tersenyum lebar. Untungnya warisan peninggalan orangtua
Gadis mampu membiayainya sekolah. Tapi walau bagaimana
pun mampukah harta duniawi itu mengobati luka hati? Kurasa
tidak. Apalagi karena harta pulalah Gadis harus menjadi
yatim piatu, korban dari perampok yang tak mampu bertahan
dari kerasnya kehidupan. Aku menghela nafas panjang,
membanyangkannya saja sudah membuat sesak.
       Gadis kecil itu berjalan mendahuluiku, lenggak-lenggok
parasnya dari belakang sudah banyak menghiburku.
Memperhatikannya membuatku tak mampu menahan tawa.
Meledaklah tawaku di ruang kelas yang masih kosong. “Lao Shi
kok ketawa?” tanyanya sedikit curiga. Melihat mimik wajahnya
yang lucu membuatku berusaha keras menghentikan tawaku.
Sambil menarik nafas dalam Aku berusaha menenangkan diri.
“Gadis tahu, kalau hari ini adalah hari ulang tahun Gadis?”

      “Ulang tahun ya! Horree.. asik…!!!” serunya gembira sambil
bertepuk tangan. “Hmm.. sebagai hadiahnya, Gadis boleh
minta apa saja sama Lao Shi… Gadis boleh minta kue ulang
tahun berbentuk Princess, atau boneka Barnie yang seperti
yang di TV kemarin” tawarku mengodanya. Gadis terdiam
sejenak sambil jemarinya tak henti melinting-linting rambut
depannya yang masih tersisa. “Hmm… apa ya.. tapi Gadis
tidak mau kue ulang tahun berbentuk Princess, atau boneka
Barnie.”katanya dengan tampang serius. “Loh, kalau tidak
mau kue dan bonekanya Gadis mo apa dong?” sahutku
menawarkan kembali kepadanya. “Bener?” tanyanya lugu.
“Iya….” Jawabku memastikannya. Mulutnya yang kecil itu
mulai mengucapkan kalimat-kalimat panjangnya. “Kata Barnie,
anak-anak punya mama papa, Gadiskan masih anak-anak
ya! Gadis mau mama papa bisa?” seketika hatiku terenyuh,
kupeluk Gadis erat-erat, air mataku meleleh tak terasa. “Loh
kok Lao Shi nangis, ih Lao Shi cengeng, yah ga ada ya mama
papanya, kalau ga ada Gadis mau Lao Shi aja deh!” sahutnya
enteng sambil terkekeh-kekeh. Mataku basah, kupeluk Gadis
dua kali, bibirku mulai tersenyum menghiburnya, namun
bukan Aku yang sesungguhnya menghibur Gadis, Gadislah
yang sudah menghiburku. Guru kecil yang mengajarkanku
kehidupan.




"Guru yang mengajarkan kita kebahagiaan adalah
penderitaan. Guru yang mengajarkan kita untuk dapat
bahagia adalah penderitaan. Semakin kita berusaha
menolak penderitaan, semakin jauh kita dari kebahagiaan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar